Pitung lahir ditanah Betawi. Ia anak ke
empat dari pasangan suami-isteri pak Piun dan bu Pinah. Ke-3 saudaranya
masing-masing bernama Miin, Kecil,Anise. Pitung lahir di kampung Rawabelong,
kampung tersebut menjadi bagian dari partikelir Kebayoran. Tuan tanah yang
berkuasa di Kebayoran adalah Liem Tjeng Soen. Tanah partikelir diperoleh dari
pemerintahan Belanda melalui pembelian dokumen tanah, serta kewajiban membayar
pajak kepada Belanda. Tanah partikelir tersebut, Liem Tjeng Soen mengangkat
centeng dari kalangan priburni yang bertugas menagih pajak kepada penduduk.
Pitung masih kecil, tidak mengerti tentang tanah partikelir, mengapa padi, ayam
dan kambing bapaknya diambil sewenang-sewenang oleh para centeng. Pitung
menyaksikan sambil bertanya kepada bapaknya, ”mengapa ayam kita diambilin?”
Pitung menanjak dewasa. Perawakannya tidak
terlalu tinggi dan tdak
terlalu rendah, sekitar 165-an em, kulitnya kuning, rambutnya keriting. Pitung
dibesarkan didalam keluarga pak Piun, sebagaimana anak Betawi pada umunnya
Pitung memperoleh Pendidikan tata
krama dari bapak dan ibunya, belajar mengaji, membantu bapaknya menanam padi,
memetik kelapa, meneari rumput untuk kambing mereka, adakala Pitung membantu
tetangganya. Pitung anak yang rajin mengerjakan perintah Allah, tidak pernah
meninggalkan shalat, berpuasa, bertutur kata yang sopan, selalu memenuhi
panggilan ibu-bapaknya.
Untuk menambah pengetahuan agama, Pitung
belajar mengaji dengan Haji Naipin, seorang kiyai terkemuka di kampung
Rawabelong. Selain mengaji, Pitung juga belajar ilmu silat dan ilmu bela dirilainnya pada Haji Naipin. Dalam menuntut
ilmu tersebut, Pitung tergolong cerdas, patuh dan taat terhadap Petunjuk sang guru Haji Naipin. Karena ketekunan,
keikhlasannya untuk menuntut ilmu, Haji Naipin menjadi sayang kepadanya, dan
menaruh harapan kepadanya untuk menjadi penggantinya di kemudian hari. Haji Naipin
meneurahkan semua ilmu yang dimilikinya kepada Pitung. Ilmu Paneasona, sebuah
ilmu bela ciri tingkat tinggi yang membuat pemilik ilmu kebal dari benda tajam
nusuh diberikan haji Naipin kepada Pitung. “Ilmu ini buat membela orang lemah
dari kezaliman, bukan untuk menzalimi orang lain” demikian Jesan haji Naipin.
Sebagai seorang pemuda yang memiliki ilmu
agama dan ilmu bela diri, Pitung selalu rendah hati. Kerendahan hatinya membuat
ia banyak teman. Diantara teman-temannya seguru seilmu yang dekat sekali adalah
Dji’i dan Rais. Pitung juga tak luput dari gejolak perasaan orang muda, ia
menjalin tali kasih dengan Aisyah gadis kampung Rawabelong, keduanya bersepakat
untuk membina rumah tangga di kemudian hari bila sudah pantas untuk membina
rumah tangga.
Berbekal ilmu yang dimiliki, baik ilmu
agama dan ilmu bela diri, Pitung membaktikan dirinya untuk ibu bapaknya serta
masyarakatnya di Rawabelong. Pitung turut membantu bapaknya menanam padi,
menggembalakan kambing, membantu para tetangganya dan setiap yang membutuhkan
uluran tangannya. Adakalanya Pitung datang membantu meskipun tidak diminta, hal ini merupakan penerapan dari ilmu agama
yang dimilikinya, bahwa membantu orang lain adalah pekerjaan yang baik sebagai
amal soleh. Karenanya Pitung dikenal luas sebagai pemuda yang murah hati di
masyarakatnya.
Sebagai pemuda Rawabelong, Pitung
menyaksikan dengan mata kepalanya segala tindak tanduk kezaliman para centeng
tuan tanah Kebayoran Liem Tjang Soen kezaliman Pemerintah Penjajah serta para
serdadu Hindia Belanda yang dibantu oleh Demang Kebayoran, yang menagih pajak
secara paksa atas para penduduk kampung Rawabelong. Pitung tidak dapat
membiarkan kezaliman tersebut berlangsung di depan matanya. Sebagai pemuda,
darahnya mendidih menyaksikan kesewenang-wenangan penjajah beserta kaki tangannya, ingin rasanya memberikan
pelajaran kepada mereka, namun ibu bapaknnya menentramkan kemarahan hatinya,
“jangan Tung … dia orang punya kuase, nanti juga ada balasan buat mereka”,
terus ibunya membujuk agar Pitung mengurungkan niatnya. Pitung memenuhi
permintam ibunya, tetapi hatinya bergejolak, kezaliman harus dilawan, bukankah
ia selama ini belajar ilmu agama, yang menyuruh untuk Amar ma’ruf Nahi Munkar,
tegakkan kebaikancegah
kemungkaran.
Karena seringnya menyaksikan kezaliman
yang dilakukan oleh para centeng terhadap penduduk Rawabelong, Pitung akhirnya
turun tangan. Centeng yang petentengan merampas hak milik penduduk dipermalukan
Pitung. Dengan bekal ilmu bela diri yang dikuasainya, Pitung mencegah centeng
tersebut dalam merampas hak milik penduduk. Si centeng menjadi murka dan
menghajar Pitung yang dikiranya tak memiliki kepandaian bersilat. Pitung
menyambut serangan si centeng dan dengan mudah membekuknya, si centeng jadi
malu dan bangkit pergi tanpa dapat membawa barang apapun. “Awas lu, gua laporin
sama Demang”, centeng pergi ngeloyor tanpa muka dibawah tatapan dan ejekan
penduduk.
Pitung dipanggil bapaknya, ia diminta
menjualkan kambing ke pasar Tanah Abang. Bapaknya sangat memerlukan uang untuk
keperluan biaya hidup keluarga mereka, “Tung gua butuh duit, lu jual gih
kambing kite dua ekor”, ujar bapaknya. “Aye, pak!” sahut Pitung. Segera Pitung
mengeluarkan dua ekor kambing dari kandangnya, kemudian menuntun kambing
tersebut ke pasar Tanah Abang dengan berjalan kaki menelusuri jalan setapak
kemudian melewati pinggiran jalan kereta api sampai
ke pasar Tanah Abang.
Di pasar Tanah Abang Pitung menjual
kambingnya kepada pedagang kambing. Setelah terjadi penawaran dan kecocokan
harganya, Pitung menerima uang penjualan kambingnya. Uang tersebut ditaruh di
saku baju bagian bawah, dan Pitung segera kembali ke rumahnya.
Ketika Pitung melangkah pulang, beberapa maling mengikutinya. Pitung tidak
mengetahui kalau orang yang mengikuti perjalanannya adalah para maling yang
ingin mencuri uang di kantongnya. Para maling tersebut terus mengikuti. Pitung
tidak menaruh curiga terhadap mereka. Di tengah perjalanan terdengar adzan dari
sebuah langgar, Pitung segera menghampirinya untuk menunaikan kewajibannya
melaksanakan shalat dzuhur. Pitung membuka bajunya, menyangkutkan ke dinding
musolla, kemudian turun ke kali mengambil air wudhu,
tak ada rasa curiga sedikit pun terhadap orang yang mengikuti perjalanannya,
kesempatan demikian dimanfaatkan para maling untuk mengambil uangnya.
Pitung mengenakan bajunya dan masuk
kedalam musolla untuk shalat, sementara orang yang mengikutinya ke kali
mengambil wudhu. Ketika selesai shalat dzuhur, Pitung tidak menemukan orang
yang mengikutinya sejak dari pasar Tanah Abang.
Pitung segera kembali kerumahnya, pak Piun
sangat gembira, menyangka Pitung pulang dengan membawa hasil penjualan kambing;
“Tung, mane Tung duwitnya ?” tanya pak Piun gembira “Duwitnya ilang, pak,
dicopet orang,” jawab Pitung polos. “Ape, duwitnye ilang? lu pake kali,”
bapaknya tidak percaya. “Benar ilang Pak, aye kagak pakek,” Pitung mencoba
menyakinkan Bapaknya. Bapaknya menjadi berang dan berkata padanya, “Lu musti
nemuin itu duwit, kalo kagak ketemu,lu jangan pulang.”
Pitung segera kembali ke pasar Tanah Abang
mencari orang yang mencuri uangnya. Pitung menemukan mereka. Melihat Pitung
mendekati, mereka menghampiri Pitung, salah seorang berkata, “Tung gua tahu
keberanian lu, baiknya lu jadi pemimpin gua aja Tung, pokoknya beres deh lu
bakal banyak duwit.” “Pemimpin apa ?” ujar Pitung. “Jadi pemimpin gua Tung,
buat ngerampokin duit orang.” ujar orang itu melecehkan, Pitung diam saja,
orang itu melanjutkan, “Lu yang ngawasin dan mimpin, kita yang ngerampok.”
“Ape ngerampok ? Ah gue kagak mau,
sebaiknya duit gue yang lu ambil, pulangin!” kelihatan Pitung menahan amarah.
“Pokoknya duwit lu kagak gue kembaliin kalo lu nggak mau jadi pemimpin gue,”
orang itu mengejek.
Ejekan tersebut membuat Pitung marah.
Pitung segera mencekal leher orang tersebut. Ternan-ternan orang tersebut
segera menghampiri untuk mengeroyok Pitung. Dengan sigap Pitung melayani
perkelahian. Dalam waktu singkat para kawanan pencopet itu dapat dibekuknya.
Pitung mengambil uangnya, dan segera kembali kerumahnya. Dengan rasa bangga
Pitung menyerahkan uang tersebut kepada pak Piun.
Sejak peristiwa tersebut, Pitung
terpanggil untuk membela penduduk yang tertindas oleh perlakuan sewenang-wenang
para penguasa pribumi, para centeng, para tuan tanah dan Belanda yang merampas
hak milik penduduk. Setiap centeng yang terlihat merampas hak milik penduduk,
Pitung memberikan pelajaran kepada centeng tersebut.
Para centeng yang diberi pelajaran oleh
Pitung sebagian insyaf dan tidak mau Iagi bekerja pada tuan tanah maupun
Belanda, dan sebagian lagi melaporkan kejadian tersebut kepada tuan tanah. Tuan
tanah melaporkan kepada penguasa penjajah Belanda tentang tindaktanduk Pitung.
Pitung dinilai telah menghambat tegaknya kekuasaan penjajah di Rawabelong.
Akibatnya Pitung mulai dimata-matai oleh aparat penguasa penjajah Belanda.
Pitung menyaksikan penderitaan penduduk
yang dirampas hak miliknya oleh para centeng, tuan tanah dan Belanda, dia bertekad untuk mengembalikan hak-hak
penduduk tersebut. Untuk itu Pitung dan temannya Dji’in dan Rais menjalankan
aksi mengambil harta yang ada ditangan para tuan tanah, penguasa pribumi, dan
orang-orang kaya yang berpihak dengan Belanda.
Bagi Pitung, pengambilan secara paksa
adalah halal karena harta tersebut pada dasarnya milik penduduk yang diambil
juga secara sewenang-wenang. Tidaklah berdosa merampas harta para perampas.
Harta yang dirampas si Pitung dan teman-temannya tersebut dikembalikan lagi
kepada penduduk. Pitung melaksanakan operasi perampasan sampai ke Jembatan Lima
dan Marunda.
Dalam suasana demikian pihak ketiga
menumpang lewat, ikut melaksanakan perampokan mengatasnamakan si Pitung.
Sehingga si Pitung terkenal di pelosok Betawi sebagai perampok. Para tuan
tanah, orang kaya pro-Belanda menjadi tidak tentram, mengadukan kepada penguasa
penjajah.
Penguasa penjajah di Batavia memerintahkan
aparat-aparatnya untuk menangkap Pitung. Schout Heyne Kontrolir Kebayoran
memerintahkan mantri polisi serta demang dan bek untuk mencari tahu dimana
Pitung berada. Schout Heyne menjanjikan uang yang banyak bagi siapa saja yang
bisa menangkap Si Pitung hidup atau mati. Tidak itu saja, barang siapa yang
bisa memberikan keterangan dimana Si Pitung berada akan diberi hadiah.
Pitung mengetahui dirinya diburon oleh
penguasa penjajah beserta para cecunguknya. Karena Pitung berpindah-pindah
tempat, sampai ke Marunda. Meskipun diburon, Pitung tetap melaksanakan operasi
perampasan harta orang kaya, penguasa pribumi para demang dan Tuan Tanah. Hasil
perampasannya dibagi-bagikan kepada penduduk yang miskin akibat pemerasan yang
dilakukan para tuan tanah, centeng dan Belanda.
Karena suka membantu penduduk dalam
menghalangi para centeng memeras serta suka membagi uang hasil rampasan, Pitung
menjadi idola penduduk yang tertindas oleh kekejaman para centeng, tuan tanah
dan Belanda. Meskipun Pitung diburon tetapi selalu tidak dapat ditelusuri jejaknya.
Para penduduk selalu menyembunyikan Pitung di rumah mereka, bahkan seorang
pedagang Cina pernah menyembunyikan Pitung ketika dicari oleh kaki tangan
penjajah.
Ada masa tidak beruntung. Suatu ketika
Pitung melakukan aksi perampasan bersama beberapa kawannya, kedatangan mereka
telah diketahui oleh kaki tangan tuan tanah. Serdadu Belanda yang dipimpin
mantri polisi Kabayoran telah bersiaga dengan senjata. Ketika rombongan Pitung
akan memasuki sebuah rumah milik tuan tanah,terdengar tembakan yang mengarah
kepada mereka. Bersamaan dengan itu terdengar bunyi kentongan bertalu-talu tuan
tanah eina dan demang telah menggerakkan para pemuda yang banyak sekali. Si
Pitung dan kawan-kawannya telah terkepung. Pitung dan kawan-kawannya berusaha
untuk melarikan diri karena tidak mungkin, menghadapi ratusan serta puluhan
serdadu bersenjata.
Teman-temannya meloloskan diri, sementara
Pitung sengaja membiarkan diri untuk ditangkap agar teman-temannya dapat lolos.
Pitung akhirnya ditangkap serdadu, dibawa ke kantor Kontrolir Scout Heyne.
Schout Heyne terheran-heran ketika mengetahui siapa sebenarnya Pitung yang
selama ini menjadi momok. Schout Heyne menyangka Pitung orang tinggi kekar dan
bertampang seram, ternyata Pitung orangnya sederhana, air muka yang jernih, tak
terlihat perasaan bersalah. “kamu orang nama Pitung ? Kamu perampok ? Kamu
orang jahat” Schout Heyne menghardik Pitung. Pitung kelihatan tenang tanpa rasa
takut, menantang tatapan mata Schout Heyne dan berkata, “Tuan dan orang-orang
tuan yang jahat, ngerampok harta penduduk, membuat bangsa kami susah.”
“Kamu orang berani sama Belanda ?”
“Mengapa takut.” Scout Heyne memerintahkan serdadu Belanda memasukan Si Pitung ke dalam penjara. Pitung dipenjarakan di penjara Grogol.
“Mengapa takut.” Scout Heyne memerintahkan serdadu Belanda memasukan Si Pitung ke dalam penjara. Pitung dipenjarakan di penjara Grogol.
Didalam penjara Grogol Pitung tidak kerasan.
Pitung memikirkan nasib penduduk yang dirampas hak miliknya oleh Belanda
beserta tuan tanah, demang dan para centeng. Di dalam penjara tentulah Pitung
tidak dapat membantu – penduduk. Pitung memutar otak bagaimana caranya ia bisa
lolos dari penjara. Kepada para ternan yang sarna-sarna berada dalam penjara
CrogoI, Pitung mengancam mereka “Kalu lu semua bilang gua lolos dari genteng,
lu semua gue bunuh.” Karena ancaman Pitung tersebut, mereka semua tutup mulut.
Pada malam hari, penjaga terkantuk-kantuk dan sempat lelap sejenak, segera
Pitung memanjat dinding ruang tahanan, menjebol plapon, membuka genteng, keluar
melalui bubungan atap penjara, melompat keluar. Pitung lolos dari penjara
Grogol. Teman-temannya dalam penjara saling tutup mulut. Ketika penjaga penjara
memeriksa tahanan, Pitung tak terlihat mereka ditanyai penjaga, tak satupun
memberi tahu. Penjaga penjara menjadi heran dan saling bertanya sesamanya.
“Kemana Si Pitung ?” “Gua kagak tahu.”
“Apa Si Pitung bisa ngilang ?
“Mungkin saja, buktinya kapan ada di kamarnya”
Si Kecill abang Pitung mencari Pitung kesana kemari dan ternyata tidak juga bertemu. Karena tidak ada hasil, pak Piun disiksa oleh penjajah Belanda. Si Kecill juga disiksa oleh penjajah Belanda. Karena tidak tahan memperoleh siksaan, pak Piun menantang “Bunuh saja aye”.
“Mungkin saja, buktinya kapan ada di kamarnya”
Si Kecill abang Pitung mencari Pitung kesana kemari dan ternyata tidak juga bertemu. Karena tidak ada hasil, pak Piun disiksa oleh penjajah Belanda. Si Kecill juga disiksa oleh penjajah Belanda. Karena tidak tahan memperoleh siksaan, pak Piun menantang “Bunuh saja aye”.
Belanda juga menangkap Haji Naipin,
menyiksanya. Karena siksaan Belanda, Haji Naipin bersedia mencari Si Pitung.
Haji Naipin dengan kawalan serdadu Belanda yang bersenjata lengkap mencari Si
Pitung keluar-masuk kampung. Penduduk yang ditanyai tidak satupun yang
memberitahu dimana Pitung disembunyikan, para penduduk menyaksikan Haji Naipin
diseret, disiksa karena tidak dapat menemukan Pitung. Beberapa orang penduduk
memberitahukan kepada Pitung tentang keadaan Haji Naipin, pak Piun, Si Kecil
yang disiksa oleh Belanda.
Pitung sangat berang mendengar ceritera
penduduk. Pitung biasanya bersembunyi pada siang hari, akhirnya keluar untuk
mencari gurunya, bapaknya serta abangnya yang berada ditangan penjajah. Di Kota
Bambu Pitung menampakkan diri ketika gurunya lewat dibawah todongan senjata
serdadu Belanda. “Lepasin guru gue, yang kalian cari gue, bukan die lepasin”
ujar Pitung sambil berdiri menghadang Scout Heyne yang ikut rombongan mencari
Si Pitung sangat gembira, buruannya selama ini kini ada di depan mata. Scout
Heyne tertawa kemudian memerintahkan serdadu untuk mengepung Si Pitung.
Sementara beberapa serdadu menodongkan senjata kepunggung Haji Naipin. “Kalau
kamu orang melawan, dia orang kami tembak, mengerti kamu?” Scout Heyne
mengancam Si Pitung.
Mendengar ancaman tersebut, Pitung menjadi
gusar dan luluh. Tak tega ia melihat gurunya hams mati tertembak karena
perbuatannya. Tetapi untuk menyerah, ia merasa enggan, namun terbayang nasib
pak Piun yang didalam penjara Belanda. Pitung pasrah untuk ditangkap tetapi
tidak akan menyerah begitu saja.
Pitung berdiri terpaku, sementara para
serdadu Belanda dalam posisi siaga tembak. Scout Heyne mengacungkan pistolnya,
memutar-mutar gagang pistol sambil menyembunyikan senyum ejekan kepada Si
Pitung. ” Lepasin die, kalian busuk semua, menghalalkan segala cara.” ujar
Pitung berang. ” Kita orang tidak bodoh Pitung ! ” Scout Heyne berujar Iantang.
Kemudian Scout Heyne memerintahkan serdadunya yang menodong senjata kepada Haji
Naipin untuk melepaskan Haji Naipin dari todongan, namun tetap diwaspadai.
Haji Naipin yang agak bebas berdiri, tidak
tega melihat Pitung terkepung oleh para serdadu Belanda yang siaga tembak. Haji
Naipin merogoh sakunya yang berisi telur busuk, menimang-nimang telur busuk
tersebut. Haji Naipin berharap, bila telur tersebut dilemparkan ke badan
Pitung, bila Pitung melawan dan tertembak, maka ia dapat menyembuhkan Si
Pitung.
Scout Heyne yang perasaannya takut bila
Pitung melawan maka dengan segera mengambil keputusan untuk memerintahkan
serdadunya menembak. Saat yang hampir bersamaan Haji Naipin terlebih dahulu
melemparkan telur busuk ke badan Si Pitung Scout Heyne berteriak lantang ”
Tembak !” bersamaan dengan itu terdengar letusan bedil serdadu Belanda.
Beberapa peluru menghujam kebadan Pitung, Pitung berdiri terpaku menatap Scout
Heyne. Pitung tak menyangka Scout Heyne berlaku curang padahal beberapa saat
sebelum Haji Naipin melemparkan telur busuk, Pitung telah memberi tanda
mengangkat kedua belah tangannya sebagai pertanda bersedia menyerah. Pitung marah
sekali dan melontarkan kata, ” Heyne mulai hari ini Iu menjadi musuh gue dan
akan gue hisap darah lu.” Scout Heyne kembali memberi komando “Tembak !”
Beberapa peluru kembali menerjang tubuh Pitung. Karena ajal Pitung sudah tiba
sesuai ketentuan Allah tentang mati hidupnya seorang hamba, malaikat Izrail
mencabut nyawanya.
Pitung rubuh bersimbah darah, jatuh ke
bumi. Pitung gugur,sebagai pejuang bangsanya dalam melawan penindasan Belanda
beserta kaki tangannya.
Jenazah Pitung diangkut oleh Belanda,
dibawa ke kantor Asisten Residen. Scout Heyne dengan bangga melaporkan hasil
kegiatannya dalam melumpuhkan aksi perlawanan Pitung. Asisten Residen cuma diam
saja, kemudian memerintahkan agar Si Pitung dikuburkan di Pejagalan. Kuburan Si
Pitung selama 6 bulan dijaga karena beberapa demang melaporkan bila tidak
dijaga, mayatnya akan di bongkar, dibawa ke perkampungan dan dapat dihidupkan
kembali oleh gurunya Haji Naipin. Haji Naipin, pak Piun dibebaskan oleh
Belanda. Beberapa hari kemudian Scout Heyne dipanggil Asisten Residen,
pangkatnya dicopot atau di berhentikan sebagai kontrolir karena bertindak yang
tidak pantas sebagai tentara dan sangat memalukan karena menembak orang yang
tidak melawan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar